PROFIL SAUNG RANGKAI

Saung Rangkai terletak di Kampung Tegalega, Kabupaten Garut Kecamatan Bungbulangs Desa Hegarmanah. Sekitar 75 km dari kota Kabupaten/Kota, dan 128 km dari kota provinsi. Setara dengan 8 jam perjalan dengan angkutan umum dari kota profinsi dan 5 jam dari kota kabupaten. Berada pada ketinggian 400-500 mdpl. Luas wilayah Desa Hegarmanah adalah 349 ha dimana 85% nya (205 ha ) merupakan pesawahan. Desa Hegarmanah merupakan desa pemekaran dari desa Hanjuang. Batas Utara Berbatasan dengan Desa Bungbulang, sebelah Barat Berbatasan dengan Desa Hanjuang, sebelah Selatan Berbatasan dengan desa Margalaksana dan sebelah timur Berbatasan dengan Desa Gunamekar.

Pada bulan April 2021 Desa ini dipercaya oleh Pemerintah Kabupaten Garut untuk menjadi perwakilan Kabuten Garut untuk mengikuti lomba BBRGM (Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat). Sudah 7 tahun kabupaten Garut memenangkan lomba BBGRM ini, di tingkat nasional juara 3, tingkat Jawa Barat juara ke satu. Dan tahun ini adalah Desa Hegarmanah. Desa Hegarmanah termasuk desa baru tapi percepatannya cukup tinggi sehingga memiliki kantor desa yang cukup megah. Meskipun berasal dari dana profinsi tapi upah kerja pekerja bangunan lebih banyak dilakukan secara swadaya. Desa Hegarmanah terdiri dari 1.380 kepala keluarga, 4.145 penduduk dengan katagori 2.120 laki-laki dan 2.025 perempuan.

Kampung Tegalega, berada di sebelah barat Desa Hegarmanah. Kampung kecil dengan jumlah penduduk sebanyak 144 KK dengan katagori perempuan 247 orang dan laki-laki 250 orang. Berdasarkan adminitrasi pemerintahan kampung ini terdiri dari 1 RW dan 2 RT. Penduduk kampung ini dominan adalah petani sawah dan petani kebun, sedangkan pembuatan opak dan gula menjadi pekerjaan sampingan bukan pekerjaan utama. Para pembuat opak di kampung Tegalega itu adalah Ibu Engkong, Ibu Marliah, Ibu Masitoh dan Ibu Masniah. Sedangkan pembuat gula aren dan yang menyadap gula yaitu Bapak Iwan, Bapak Dadan dan Bapak Ajidin. Sedangkan untuk pembuat gula semut hanya Ibu Ika Masrika.

Saung Rangkai adalah komunitas yang berdiri pada tahun 2012. Pendirian komunitas ini berawal dari keresahan anak muda dan tokoh masyarakat akan generasi muda saat itu. Pengajian tidak ada, sekolah agama tidak ada dan kegiatan sepulang sekolah hanya main. Tidak ada yang mengarahkan untuk melakukan sesuatu. Berangkat dari keresahan itu muncul inisiatif antara pemuda yang berada di desa dan pelajar yang sedang kuliah di kota.

Kegiatan awal yang dilakukan adalah mengumpulkan anak usia SD dan SMP. Anak-anak yang berkumpul ini pada awalnya, menggunakan madrasah atau mesjid atau rumah seseorang untuk berkumpul. Difasilitasi oleh Odon, Bu Tuteh, Jajang dan Neng Erna mereka mulai mengajak anak-anak ini berkumpul. Pembelajaran tidak hanya soal agama, mengerjakan PR bersama tapi juga bagaimana memahami kampung dengan ekologinya. Metode yang digunakan melalui proses diskusi dan anak-anak harus percaya diri mempresentasikan temuannya kepada teman-temannya. Misalnya, anak – anak diberi pertanyaan pohon apa yang bisa digunakan untuk membuat rumah, atau pohon apa yang bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari, atau pohon apa yang bisa dipergunakan untuk peralatan rumah.  Pada proses pencarian data, anak-anak didekatkan dengan kehidupan sehari-hari bersama dengan keluarganya, pertanyaannya bisa diajukan kepada ayah, ibu, kakek, dan paman mereka. Itu artinya, bagi keluarga menguatkan kembali ingatan mereka yang sudah serba instan di kampungnya juga mendekatkan lahi hubungan persaudaraan.

Selanjutnya, anak-anak diajak mengenal metode sistem bertani sawah dengan pertanian organik. Di kampung Tegalega ada 4 orang petani sawah yang menggunakan sistem pertanian organik yaitu Aki Aen, Mang Elan dan Mang Aa dan Wa Farid. Anak – anak belajar secara langsung kepada 3 orang ini bagaimana bertani  berkebun, menanam padi secara organik full. Mulai dari masa pembenihan, sistem legowo dan pemeliharaan sawah padi organik. Menurut Wa Farid, “ untuk menyelamatkan kampung kita dari obat kimia tidak bisa dilakukan oleh para orangtua. Mereka sudah mendarah daging kebiasaannya sudah tidak bisa diingatkan karena itu yang termudah. Sedangkan melalui sawah organik segala sesuatunya harus dihitung. Hanya anak-anak yang sangat mudah diberi pemahaman karena mereka masih polos dan mau menerima pendapat orang lain “. Meskipun sawah padi ini dikonsumsi sendiri tidak dijual, tapi secara lingkungan aman buat semua orang.

Untuk belajar berkebun, anak-anak belajar secara langsung dari dari Aki Aen. Meskipun hanya 2 cangkir kacang tanah atau bawang merah tapi proses mulai dari menanam dan panen hingga dimakan oleh mereka sendiri. Anak-anak belajar secara langsung dengan mempraktekkannya. Dengan maksud supaya mereka kenal lebih dekat dengan tanaman yang menjadi andalan kampungnya.

Tidak hanya itu, Wa Farid (+ 70 tahun) dan Aki Aen (+ 70 Tahun) sering mengajak anak-anak eksplorasi kampung. Tidak hanya di kebun dan di sawah tapi juga mengeksplorasi hutan dan gunung. Pada saat anak-anak libur, saat sudah waktunya musim jamur di hutan + 30 – 40 anak-anak berangkat ke hutan untuk mengenal jamur apa saja yang bisa dimakan di hutan. Menurut 2 sesepuh ini, alam sudah memberikan penghidupan buat umat manusia, tugas manusia perbanyakan dengan baik dan mengurusnya dengan baik juga. Jika diurus dengan baik maka kita tinggal memetiknya.

Pada saat musim panen gogo akan berlangsung. Wa Farid juga akan mengajak anak-anak pergi ke hutan. Mereka ke gunung Puntang atau ke Gunung Werkip bersama-sama. Dalam perjaalanan ini mereka akan belajar 3 hal. Satu, ketika panen padi gogo bersamaan dengan pohon hangasa sedang berbuah matang. Pohon yang bisa dimakan buahnya dan sumber vitamin.  Kedua, pohon peuteuy atau jengkol sedang berbuah juga. Warga bebas mengambil hasil panen dari pohon tersebut karena milik alam. Pohon ini, bisa dipanen sesuka hati kita. Tanpa perlu minta izin kepada pemiliknya karena dianggap milik alam. Ketiga, Masyarakat Bungbulang sebagian banyak menanam kacang tanah. Dan mereka menanam di areal lahan yang cukup luas. Setelah panen, areal ladang bekas kacang tanah dibiarkan begitu saja selama 1 bulan untuk menjadi hak masyarakat umum. Ketika lahan tersebut kena hujan, maka kacang tanah yang masih berisisa di lahan tersebut tumbuh kecambah (toge). Artinya, sepulang dari gunung werkip atau gunung Puntang mereka panen kecambah untuk dibawa pulang dan dimasak. Peristiwa ini kadang-kadang para orangtua juga suka ikut.  Karena hasil panen dari hutan sangat banyak.

Tidak hanya itu, Aki Aen dan Wa Farid mengajak anak-anak ke Pantai Cijayana. Mereka berjalan kaki sepanjang 17 km. Ngalet ngabandaleut (konvoi berjalan beriringan). Meskipun, tahun-tahun ini pergi menggunakan kendaraan tapi semangat kebersamaannya tidak luntur.

Pada perkembangannya, kebutuhan anak-anak untuk berkumpul menjadi penting. Tempat untuk bertemu setiap hari bercerita,  mengerjakan PR bareng,  dan melakukan kegiatan dalam tempat yang sama menjadi tak terbantahkan. Apalagi kemudian ada acara rutinan mingguan dan bulanan. Seperti Mengadakan yasinan/pengajian satu minggu sekali dengan dipimpin tokoh masyarakat,  belajar bicara di depan banyak orang. Sehingga dibuatlah suatu perkumpulan bernama Saung Rangkai. Saung artinya rumah dan rangkai artinya rumah setengah jadi (rumah yang belum selesai).

Tahun 2013 Saung Rangkai mempunyai bangunan/secretariat sederhana hibah dari seorang tokoh baik tanah maupun bangunan. Pengerjaan bangunannyapun dilakukan secara swadaya. Seiring berjalan waktu, Saung Rangkai dikenal di kalangan pelajar lewat cerita cerita pelajar, sehingga sekolah terdekat sering melakukan kunjungan dan melakukan kegiatan bersama (sharing siswa antar sekolah) mulai dari menggambar, membaca puisi, pidato dan bercerita atau hanya bermain menyusuri sungai. Sampai mengadakan kegiatan bulan bahasa bersama di secretariat Saung Rangkai. Pelajar yang ada di kota mencari jaringan untuk menambah kegiatan dan menambah wawasan pelajar yang ada di kampong. Tak jarang anak-anak sharing pengalaman dengan mahasiswa dari kota. Dengan beragai komunitas mulai berjaringan. Tahun 2016, Saung Rangkai mendirikan taman baca sederhana berkat kerjasama dengan salah satu radio di Bandung yang menyumbangkan bukunya ke komunitas. 

Yang menarik dari kampung Tegalega adalah sikap gotong royong yang melekat kuat dan itu ditanamkan kepada anak-anaknya. Begitu pun anak-anak saung rangkai. Setiap gotong royong pasti dilibatkan, baik itu perbaikan jalan, membangun mesjid, membangun rumah atau membersihkan jalan-jalan di kampung yang rutin dilakukan. Pada perkembangan kemudian, ketika kampung membutuhkan dana bagi pembuatan madrasah, pembuatan mesjid maka mereka bergotong royong mencari dana tersebut melalui kerja borongan. Apakah kerja borongan membersihkan , membuka dan mengelola lahan pertanian. Upah kerja dari pemilik lahan disumbangkan kepada pembuatan mesjid atau madrasah atau jalan. Pun, pada perkembangan selanjutnya anak-anak saung Rangkai juga seperrti itu tentu saja dengan skala kecil. Yaitu ketika halaman rumah warga Tegalega butuh bantuan dibersihkan, seluruh anggota Saung Rangkai membersihkan halaman tersebut, upah kerjanya dipergunakan untuk membeli kebutuhan ATK belajar di Saung Rangkai.

Tahun 2017 karena kebutuhan administrasi, Saung Rangkai mengurus legalitas, dan didaftarkan ke Badan Hukum. Saung Rangkai resmi berbentuk Paguyuban/kelompok dengan SK SK Kemenkumham Nomor AHV – 0053408. AH 01. 07 tahun 2016 Pengesahan perkumpulan Saung Rangkai berdasarkan AKTA No. 94  tanggal 28 April 2016 yang dibuat oleh notaris Dini Widiani SH yang berkedudukan di Garut. Dirasa perlu pengembangan lagi selain melakukan kegiatan belajar, Saung Rangkai  mencoba ke pengambangan ekonomi. Melakukan kerjasama dan kegiatan bersama dengan komunitas pecinta pangan local. Kalau ada bazar, Saung Rangkai rajin mengikuti pameran-pameran tersebut. Pameran tersebut adalah Festival Desa atau lebih dikenal Parara dan mengikuti ini sebelum pandemi selama 3 kali. Dalam pameran tersebut, Saung rangkai mengenalkan produk kampongnya. Hasil  dari bazar dibuat modal usaha lain seperti ternak ayam kampong, warung kecil-kecilan dan lainnya.

Visi Saung Rangkai

Membangun cara pandang yang sama tentang kesetaraan pendidikan buat semua. Memiliki harapan bahwa semua anak bisa melanjutkan sekolah ke tahap yang lebih tinggi, tidak hanya sampai SD, SMP atau SMA tapi juga memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Bahwa anak adalah masa depan bangsa, maka dibutuhkan proses pendidikan anak di luar sekolah yang mampu membuat mereka percaya diri untuk membangun kampung dan tanah airnya sehingga tidak perlu ke kota yang selama ini dilakukan pada generasi sekarang. Menjadikan kampungnya, sebagai sumber mata pencaharian yang layak dan dengan begitu membangun kampung yang kuat dan mandiri sangat diperlukan dan dibutuhkan.

Membangun sumber ekonomi yang produktif, adil dan mandiri. Tanah air kampung Kami kaya akan kearifan lokal dan sumber penghidupan yang layak diperhitungkan. Persoalannya adalah bagaimana memperlihatkan keluar sehingga orang tertarik untuk melihat kami. Sehingga ini tidak hanya menjadi layanan pengetahuan tapi juga demi kemajuan bersama.

Misi Saung Rangkai

  • Membangun sikap yang sama antar generasi dalam memandang kampungnya dan generasinya. Sehingga tujuan membangun kampung yang mandiri menjadi tujuan bersama.
  •  Membangun perspektif ekonomi yang mandiri. Berharap saung rangkai menjadi satu pintu perputaran ekonomi yang artinya pengelolaan perputaran ekonomi bisa diatur bersama dengan Saung Rangkai sebagai pemimpinnya.
  • Membangun sikap politik yang kuat dan punya posisi tawar yang tinggi di tingkat pedesaan dan kota sehingga penghargaan dari warga dan pengambil kebijakan desa dan kecamatan bisa lebih memandang Saung Rangkai sebagai komunitas yang berdaya
  • Membangun persfektif ekonomi dengan semangat agroekologi
  • Perempuan adalah pelaku utama dalam menumbuhkan sikap ekonomi yang mandiri. Maka dari itu perempuan harus menjadi penopang utama ekonomi kampung karena perempuan lebih banyak tinggal di kampung .

Program Kerja Saung Rangkai

Potensi kampung  kami mulai dikenalkan ke banyak orang di kota melalui media sosial atau melalui teman yang sama menggeluti bidang ini. Mulai dari makanan,  kerajinan, kebudayaan dan potensi alamnya. Membuat katalog produk supaya orang tahu proses dari produk yang mereka beli. Saung Rangkai  menjadi perantara saja (tidak menjadi pengepul). Menghubungkan produsen dan konsumen. Tapi produsen ikut dengan aturan  Saung Rangkai terutama kualitas barang dan spesifikasi. Karena memastikan barang itu aman dikonsumsi tidak kalah penting dari promosi.

Sejak tahun berdirinya Saung Rangkai, pendekatan kepada anak usia sekolah menjadi tugas utama Saung Rangkai. Mengambil jalur pendidikan di luar sekolah menjadi tak terhindarkan. Sejak berdirinya Saung Rangkai, maka prestasi yang menyenangkan adalah :

  • Bisa menyelenggarakan peringatan bulan bahasa bekerja sama dengan sekolah SMAN 1 Bungbulang
  • Mendapat buku yang cukup banyak dari teman-teman Radio Mora FM
  • Saung Rangkai terbentuk berdasarkan pemikiran mahasiswa dan pemuda di desa
  • Dipercaya oleh pemerintah desa untuk mengelola pengembangan domba garut
  • Ana-anak yang belajar di Saung Rangkai menjadi perwakilan Bungbulang dalam kegiatan setiap perlombaan antar kecamatan untuk perlombaan mendongeng.
  • Bisa berkurban untuk salah satu tokoh tegalega dan Saung Rangkai

Tahun 2018, Saung Rangkai beternak domba Garut berkat kerjasama komunitas dan pemerintahan setempat. Berawal dari sepuluh ekor betina dan jantan dua ekor. Saat ini kalau ditotalkan sudah hampir delapan puluhan lebih domba yang tersebar di beberapa kandang termasuk yang dijual dan disembelih. Dan ini sangat menunjang perekonomian khusus anggota umum warga.

Tahun 2020,  melaksanakan program Buruan Hejo yaitu menanami pekarangan dengan berbagai sayuran di dalam polybag/tidak tapi tanaman yang dikhususkan adalah jahe merah. Bibit tanaman, polybag disediakan Komunitas kami, warga yang berminat tinggal mengambil.

Tahun 2021,  efek dari covid-19 pemuda yang bekerja di kota pulang dan membuka percetakan sablon di bawah naungan komunitas Saung Rangkai. Tahun ini juga Saung Rangkai mulai membuat kolam warga dan menanaminya dengan berbagai ikan. Sampai saat ini Saung Rangkai merasa bahwa masalah utama kampung Tegalega adalah, ketertarikan pemuda kampung terhadap kota sangat tinggi.  Masalah regenerasi ini membuat mereka lebih tertarik sekolah, mengaji di pesantren atau kerja di luar kota. Dan Saung Rangkai sampai saat ini tidak bisa menjamin mereka untuk tetap tinggal di kampung dan mengelola kampung atau Saung Rangkai.

Leave a Comment